I Time. Kunming, Tiongkok – Di tengah eskalasi konflik bersenjata yang telah melanda Myanmar sejak kudeta militer 2021, kelompok pemberontak Ta’ang National Liberation Army (TNLA) baru saja mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan pasukan junta. Perundingan damai yang berlangsung selama dua hari di wilayah selatan Tiongkok ini menandai intervensi langsung Beijing untuk meredam ketegangan di perbatasan, sambil membuka ruang bagi pemilu kontroversial yang dijadwalkan akhir tahun ini.
Kesepakatan tersebut, yang diumumkan pada akhir Oktober 2025, mengharuskan TNLA menarik pasukannya dari dua kota strategis di wilayah Shan utara: Mogok dan Mongmit. Sebagai gantinya, militer Myanmar berjanji menghentikan serangan udara intensif yang telah menjadi rutinitas harian terhadap posisi TNLA. Langkah ini datang setelah tekanan berkelanjutan dari pemerintah Tiongkok, yang khawatir akan dampak ketidakstabilan terhadap kepentingan ekonominya di kawasan tersebut.
Latar belakang kesepakatan ini tidak lepas dari dinamika Operasi 1027, inisiatif gabungan kelompok etnis bersenjata yang dimulai pada akhir 2023. Dalam fase kedua operasi tersebut pada Juli tahun lalu, TNLA berhasil merebut Mogok—pusat pertambangan permata terkenal—dan Mongmit, sehingga menguasai sebagian besar Shan utara. Wilayah ini bukan hanya basis kekuatan etnis Ta’ang, tetapi juga koridor vital perdagangan darat antara Myanmar dan Tiongkok, yang menyumbang miliaran dolar dalam ekspor barang seperti mineral langka dan kayu.

Keberhasilan operasi ini telah menggeser keseimbangan kekuatan, membawa kelompok perlawanan semakin dekat ke wilayah Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar yang juga menjadi markas Akademi Pertahanan Nasional. Ancaman ini memicu alarm di Beijing, yang melihat potensi kekacauan sebagai risiko bagi stabilitas regional. Dari perspektif geopolitik, Tiongkok telah lama berperan sebagai penyeimbang di Myanmar, mendukung junta untuk menjaga investasi infrastrukturnya seperti pipa minyak dan proyek Belt and Road Initiative, sambil menghindari runtuhnya pemerintahan yang bisa memicu gelombang pengungsi atau konflik lintas batas.
Untuk memaksakan negosiasi, Tiongkok menerapkan langkah-langkah ekonomi yang tegas. Perbatasan antara provinsi Yunnan dan wilayah di bawah kendali TNLA ditutup, memutus alur perdagangan krusial. Selain itu, pasokan internet, bahan bakar, dan listrik ke daerah tersebut dipangkas, memperlemah logistik pemberontak dan memaksa mereka ke meja perundingan. Pendekatan ini mencerminkan strategi “soft power” dengan elemen koersif, di mana Beijing memanfaatkan ketergantungan ekonomi untuk mengelola konflik tanpa intervensi militer langsung—sebuah pola yang mirip dengan intervensi Tiongkok di konflik etnis lain di Asia Tenggara.
Gencatan senjata ini muncul tepat menjelang pemilu yang digelar junta dalam dua tahap: 28 Desember 2025 dan 11 Januari 2026. Pemilu ini, yang diklaim sebagai langkah menuju demokrasi oleh militer, justru dikritik sebagai upaya legitimasi kekuasaan di tengah boikot luas dari kelompok oposisi dan masyarakat sipil. Dengan penarikan TNLA dari Mogok dan Mongmit, junta memperoleh ruang untuk melaksanakan pemungutan suara di wilayah yang sebelumnya rawan konflik, potensial meningkatkan partisipasi dan mengurangi gangguan dari kelompok perlawanan.
Baca juga : ASEAN Jelajahi Potensi Energi Nuklir dalam Transisi Menuju Energi Bersih
Namun, para analis konflik menilai kesepakatan ini lebih bersifat taktis daripada permanen. “Ini bukan akhir dari perlawanan, melainkan jeda strategis,” kata seorang pakar urusan Asia Tenggara dari lembaga riset independen di Singapura, yang meminta identitasnya dirahasiakan. Menurutnya, TNLA mungkin menggunakan waktu ini untuk mengonsolidasikan kekuatan di wilayah inti Shan utara, sementara junta memanfaatkannya untuk memperkuat posisi politiknya. Dalam konteks teori resolusi konflik, gencatan senjata semacam ini sering kali menjadi alat manajemen krisis jangka pendek, di mana pihak-pihak terlibat saling menguji komitmen lawan sambil mempersiapkan eskalasi potensial.
Implikasi lebih luas dari kesepakatan ini meluas ke stabilitas regional. Bagi Tiongkok, ini memperkuat peranannya sebagai mediator utama di Myanmar, mengimbangi pengaruh Barat yang mendukung kelompok pro-demokrasi. Sementara itu, bagi masyarakat Myanmar, gencatan senjata menawarkan jeda dari kekerasan, meski tidak menyelesaikan akar masalah seperti otonomi etnis dan restorasi demokrasi. Di tengah ketidakpastian, pengamat internasional menyerukan pengawasan ketat terhadap implementasi kesepakatan, untuk mencegah pelanggaran yang bisa memicu babak baru konflik.
Kesepakatan ini, meski rapuh, menyoroti kompleksitas konflik Myanmar: perpaduan antara aspirasi etnis, kepentingan geopolitik, dan tekanan ekonomi. Saat pemilu mendekat, dunia akan menyaksikan apakah jeda ini membuka jalan bagi perdamaian berkelanjutan atau hanya menunda ledakan berikutnya.
Pewarta : Setiawan Wibisono


1 thought on “Gencatan Senjata TNLA-Militer Myanmar: Tekanan Tiongkok dan Kalkulasi Strategis Jelang Pemilu Junta”