
ITime.id – Bandung bukan hanya kota muda dengan kopi, distro, dan jalan Braga yang ramai swafoto. Di balik hiruk pikuk itu, terselip kisah dari batu bata dan semen yang telah menua bersama waktu.
Setiap lekuk bangunannya seperti berbisik, menceritakan bagaimana kota ini tumbuh dari masa kolonial hingga menjadi simbol semangat Indonesia modern.
Mari kita berjalan pelan—menelusuri 10 bangunan bersejarah yang masih menjaga denyut masa lalu Bandung.

1. Gedung Sate – Simbol yang Tak Pernah Padam
Ikon yang tak lekang oleh zaman.
Berdiri gagah di Jalan Diponegoro, Gedung Sate menjadi “tanda tangan” Kota Bandung. Ornamen tusuk sate di puncaknya bukan sekadar hiasan, tapi simbol filosofi kerja keras dan keindahan.
Dibangun tahun 1920-an oleh arsitek Belanda J. Gerber, bangunan ini dahulu jadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Kini, ia menjadi rumah Gubernur Jawa Barat.
Dari luar, gaya kolonialnya berpadu manis dengan udara pegunungan. Dari dalam, semangat modern terus tumbuh tanpa melupakan akar sejarahnya.
2. Gedung Merdeka – Dari Ruang Dansa Menjadi Ruang Dunia
Di Jalan Asia Afrika, ada bangunan megah berwarna putih yang menyimpan riuh sejarah.
Dulu tempat berdansa para elite kolonial dengan denting piano, kini berubah menjadi tempat dunia bersatu melawan penjajahan.
Ya, di sinilah Konferensi Asia Afrika 1955 digelar—pertemuan besar yang mengguncang tatanan dunia.
Gedung Merdeka bukan sekadar monumen, ia adalah napas solidaritas negara-negara muda yang percaya: kemerdekaan harus dijaga bersama.
3. Museum Konferensi Asia Afrika – Ketika Bandung Menjadi Cahaya Dunia
Masih di kompleks Gedung Merdeka, langkah kita membawa ke ruang yang sunyi namun sarat makna.
Di balik kaca dan diorama, tersimpan dokumen-dokumen asli, mikrofon tempat orator berbicara, dan kursi yang pernah diduduki para pemimpin bangsa.
Setiap sudutnya mengingatkan bahwa Bandung pernah menjadi pusat harapan bagi Asia dan Afrika.
Museum ini bukan hanya koleksi benda, melainkan ruang refleksi atas keberanian melawan penindasan.
4. Museum Pos Indonesia – Surat dari Masa Lalu
Terletak di Jl. Cilaki, bangunan klasik ini awalnya kantor pos Hindia Belanda tahun 1933.
Kini, ia menjadi rumah bagi kisah surat-surat tua, prangko langka, dan alat kirim masa silam.
Mengunjungi museum ini seperti membuka amplop kenangan—ada aroma sejarah yang tak bisa tergantikan oleh teknologi digital.
Dindingnya mungkin tua, tapi pesannya abadi: komunikasi adalah jembatan kemanusiaan.
5. Gedung Indonesia Menggugat – Di Sini Soekarno Pernah Berbicara
Bangunan sederhana di Jl. Perintis Kemerdekaan ini menyimpan gemuruh pidato yang mengguncang penjajah.
Soekarno pernah berdiri di ruang itu, menentang ketidakadilan dan menyalakan api kebangsaan.
Kini, tempat itu menjadi museum kecil—sunyi, tapi penuh daya.
Bagi siapa pun yang datang, gedung ini seperti memanggil untuk mengingat bahwa kemerdekaan tidak datang tanpa suara.
6. Monumen Bandung Lautan Api – Bara yang Tak Pernah Padam
Di Tegallega berdiri monumen setinggi 45 meter, menjulang dengan bentuk api.
Monumen ini mengenang peristiwa heroik 1946, saat warga Bandung memilih membakar kotanya sendiri agar tak direbut penjajah.
Simbol keberanian yang luar biasa—Bandung tidak menyerah, ia justru menyala.
Hingga kini, setiap upacara di monumen ini seperti ritual untuk menjaga bara itu tetap hidup dalam hati generasi muda.
7. Villa Isola – Keanggunan di Puncak Setiabudi
Dibangun oleh taipan Belanda D.W. Beretty pada 1933, Villa Isola memandang ke arah Gunung Tangkuban Perahu dengan anggun.
Arsitekturnya art deco, elegan namun tetap hangat.
Kini bagian dari kampus Universitas Pendidikan Indonesia, villa ini menjadi saksi bagaimana Bandung memeluk masa lalu tanpa kehilangan masa depan.
Dari balkon villa ini, kita bisa melihat betapa indahnya perpaduan sejarah, pendidikan, dan alam.
8. Gedung Dwi Warna – Tenang, Tapi Sarat Makna
Nama “Dwi Warna” berarti dua warna, simbol keseimbangan.
Gedung ini menjadi tempat pertemuan penting menjelang Konferensi Asia Afrika dan pernah menjadi markas besar Dana Pensiun Hindia Belanda.
Bangunannya kokoh, bergaya tropis dengan sentuhan Eropa.
Meski tak seramai ikon lainnya, Gedung Dwi Warna seolah berfungsi sebagai pengingat bahwa sejarah tak selalu berteriak—kadang ia berbisik lembut lewat arsitektur.
9. Hotel Savoy Homann – Menginap Bersama Sejarah
Di Jalan Asia Afrika berdiri hotel megah yang dulunya jadi tempat menginap para delegasi Asia Afrika.
Savoy Homann bukan sekadar penginapan, tapi panggung kenangan.
Tangga spiralnya, lampu-lampu kristal, dan koridor panjangnya masih menyimpan gema percakapan para tokoh dunia.
Menginap di sini seperti membuka lembar buku yang belum selesai ditulis.
10. Grand Hotel Preanger – Pesona Klasik di Jantung Kota
Tak jauh dari Savoy Homann, Grand Hotel Preanger berdiri sejak 1929.
Dirancang oleh arsitek legendaris C.P. Wolff Schoemaker, hotel ini juga pernah menjadi tempat singgah Soekarno muda saat masih mahasiswa teknik.
Fasadnya art deco klasik, namun tetap hidup di tengah modernitas Bandung.
Preanger mengajarkan bahwa keindahan bukan soal baru atau lama, tapi soal bagaimana sesuatu mampu bertahan dalam perubahan.
Dari Gedung Sate yang megah hingga Monumen Bandung Lautan Api yang membara, setiap bangunan di kota ini memiliki roh.
Roh perjuangan, kebanggaan, dan cinta pada tanah air.
Menelusuri bangunan bersejarah Bandung bukan hanya perjalanan wisata, tapi ziarah kecil pada identitas bangsa.
Sebab, di setiap tembok tuanya tersimpan pesan sederhana:
“Bandung tidak pernah lupa siapa dirinya.”
Reina
