ITime – Jakarta — Dugaan keterlibatan tiga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sulawesi Barat dalam kasus suap pemilihan pimpinan DPD RI periode 2024–2029 terus menuai sorotan. Pengurus Besar Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (Lapenmi) PB HMI mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut kasus tersebut secara terbuka dan menyeluruh.
Hakiki, mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus pengurus PB Lapenmi HMI, menyatakan bahwa dugaan suap itu mencederai nilai demokrasi dan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.
“Kami mendesak KPK RI segera memproses hukum dan memberikan penjelasan terbuka kepada publik mengenai perkembangan penyidikan kasus ini. KPK tidak boleh ragu dalam mengusut dugaan yang mencederai integritas lembaga perwakilan,” ujar Hakiki.
Dugaan suap itu mencuat setelah mantan staf DPD RI, Fithrat Irfan, membeberkan adanya sekira 95 anggota DPD yang diduga menerima uang dalam pemilihan pimpinan MPR dan DPD. Modus pemberiannya dilakukan secara door to door ke ruang kerja anggota, dengan nominal hingga 13.000 dolar AS untuk dukungan kepada posisi Ketua DPD dan sekitar 8.000 dolar AS untuk jabatan lainnya. Dari total tersebut, tiga di antaranya disebut berasal dari dapil Sulawesi Barat.
“Informasi yang kami himpun menunjukkan adanya indikasi kuat aliran dana ke tiga senator dapil Sulbar. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan mencoreng nama daerah di tingkat nasional,” tegas Hakiki.
Ia menyatakan PB Lapenmi HMI akan mengawal perkembangan kasus ini dengan aksi berkelanjutan hingga KPK memberikan kejelasan publik.
“Kami akan terus bersuara agar KPK menegakkan keadilan secara menyeluruh dan tanpa pandang bulu,” katanya.
Hakiki juga menyayangkan dugaan keterlibatan para senator tersebut karena dianggap telah merusak citra Sulawesi Barat di mata masyarakat nasional.
“Sebagai wakil daerah, seharusnya mereka menjaga marwah Sulbar. Namun dugaan keterlibatan ini justru membuat masyarakat kecewa,” ujarnya.
Ia mengimbau ketiga senator yang disebut dalam dugaan tersebut untuk memberikan klarifikasi terbuka agar publik memperoleh kebenaran yang sebenarnya.
Berdasarkan data yang beredar, dugaan penerima suap tersebar di sejumlah wilayah, dengan jumlah terbesar dilaporkan berasal dari Papua (18 orang), disusul wilayah Sulawesi (14), Kalimantan (12), Sumatera (7), Kepulauan Riau dan Riau (7), NTT & NTB (5), Banten dan Jawa Barat (5), Maluku (4), Jawa Tengah (5), Bengkulu (2), Jawa Timur (1), dan DKI Jakarta (1). Sisanya berasal dari Jambi, Aceh, Bangka Belitung, dan Lampung.
Hakiki menilai pengungkapan kasus ini menjadi momentum penting bagi KPK untuk membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
“Masyarakat menaruh harapan besar pada KPK untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Keterbukaan dan ketegasan menjadi kunci menjaga kepercayaan publik,” pungkasnya.
(*)
