ITime.id —Yogyakarta 7 Novber 2025. Dalam diam dan keteduhan Keraton Pakualaman, sosok Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam XIII tampil bukan hanya sebagai pewaris tahta, melainkan sebagai penjaga nilai, pemersatu budaya, dan jembatan antara tradisi dan zaman modern.
Sejak dinobatkan sebagai Paku Alam XIII, beliau tak sekadar melanjutkan garis kepemimpinan leluhur, melainkan menanamkan semangat keberlanjutan budaya Jawa di tengah derasnya modernisasi. Dedikasinya tampak dari sikapnya yang rendah hati dan terbuka terhadap perubahan, tanpa kehilangan akar budaya yang menjadi identitas Keraton Pakualaman.
Di bawah kepemimpinannya, berbagai kegiatan kebudayaan yang sempat meredup kini kembali bergairah. Mulai dari pelestarian tari klasik Pakualaman, penulisan naskah-naskah kuno Jawa, hingga program pendidikan budaya untuk generasi muda.
Namun yang menarik, Paku Alam XIII tidak memosisikan diri hanya sebagai simbol adat. Ia aktif berdialog dengan akademisi, seniman, dan masyarakat umum — menjadikan keraton bukan ruang tertutup, melainkan pusat interaksi budaya yang hidup dan dinamis.
“Budaya itu bukan benda mati. Ia hidup kalau kita rawat dengan cinta dan kita wariskan dengan ketulusan,” ujar beliau dalam salah satu kesempatan wawancara kebudayaan di Yogyakarta.
Kegiatan pelestarian budaya yang diinisiasi Paku Alam XIII juga mencakup pembinaan kesenian rakyat, seperti karawitan, macapat, dan upacara adat yang kini dikemas lebih inklusif. Tak jarang, keraton membuka diri untuk kunjungan sekolah dan komunitas seni agar anak muda lebih mengenal makna luhur budaya Jawa.
Selain itu, perhatian beliau pada arsip dan literasi budaya menjadikan Keraton Pakualaman sebagai salah satu pusat dokumentasi naskah kuno terbaik di Yogyakarta. Banyak peneliti mengakui, di masa kepemimpinan Paku Alam XIII, akses terhadap pengetahuan budaya menjadi lebih terbuka dan terarah.
Dikenal santun, namun tegas dalam prinsip, Paku Alam XIII kerap menegaskan bahwa kemajuan tidak boleh menghapus akar budaya. Dalam berbagai forum, ia menyampaikan bahwa kearifan lokal bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan bekal karakter bangsa di masa depan.
Dengan cara yang sederhana namun berpengaruh, beliau mengajarkan arti “nguri-uri kabudayan” — menjaga budaya bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta.

Kini, di tengah pergeseran nilai dan cepatnya arus digital, Paku Alam XIII terus mendorong agar keraton menjadi ruang belajar, bukan hanya tempat bersejarah. Ia ingin generasi muda merasa dekat dengan budaya, bukan sekadar mengaguminya dari jauh.
Dedikasi ini membuat sosoknya semakin dihormati, bukan hanya di lingkungan keraton, tapi juga oleh masyarakat luas yang menilai beliau sebagai pemimpin yang menyejukkan, visioner, dan penuh welas asih.
KGPAA Paku Alam XIII bukan hanya penerus takhta, tetapi penjaga nur budaya Jawa di era modern. Di balik ketenangan sikapnya, tersimpan tekad kuat untuk menjaga keseimbangan antara warisan leluhur dan tantangan zaman.
Dalam dirinya, budaya bukan sekadar tradisi — melainkan napas kehidupan yang terus berdenyut untuk Indonesia yang berakar dan beradab.
Reina
