
ITime.id – Lumajang.8 November 2025
Ranu Kumbolo, danau cantik di lereng Gunung Semeru, Jawa Timur, bukan sekadar persinggahan para pendaki. Di balik keindahan kabut pagi dan airnya yang jernih, tersimpan legenda tua yang dipercaya masyarakat sekitar sebagai kisah cinta abadi, janji suci, dan peringatan bagi siapa pun yang datang dengan hati tidak tulus.
Terletak di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut, Ranu Kumbolo menjadi tempat peristirahatan favorit para pendaki sebelum menuju Mahameru. Namun, bagi masyarakat desa Ranu Pane dan Senduro, danau ini bukan sekadar keindahan alam — melainkan wilayah sakral yang dijaga oleh makhluk halus penunggu dan arwah para leluhur.
Nama “Ranu” dalam bahasa Jawa berarti danau, sementara “Kumbolo” diyakini berasal dari kata “Kumbulan” atau “Kumbul”, yang berarti berkumpul. Legenda setempat menyebutkan bahwa dahulu kala, danau ini adalah tempat berkumpulnya para dewa sebelum menuruni Semeru — gunung yang dipercaya sebagai tempat bersemayam para dewa dalam mitologi Jawa.
Namun, ada versi lain yang lebih romantis. Konon, pada masa kerajaan Singhasari, ada sepasang kekasih bernama Rara Kumbolo dan Jaka Nirmolo yang melarikan diri karena cinta mereka tak direstui. Keduanya bersembunyi di lembah Semeru dan berdoa agar tetap bersama hingga akhir hayat. Doa mereka dikabulkan — tubuh mereka menyatu menjadi air danau yang tenang, sementara jiwa mereka dipercaya masih menjaga ketenangan tempat itu hingga kini. Dari sanalah nama Ranu Kumbolo berasal.
Pendaki yang sering ke sana pasti tahu — di Ranu Kumbolo, tak boleh sembarangan bicara, apalagi berbuat tidak sopan. Warga sekitar mempercayai bahwa “penjaga danau” akan menegur siapa pun yang melanggar batas. Beberapa kisah menyebut, pendaki yang sombong atau menyepelekan aturan sering tersesat dalam kabut atau mendadak kehilangan arah.
Bahkan, masyarakat setempat percaya bahwa di waktu tertentu, menjelang tengah malam, akan tampak sepasang bayangan duduk di tepi air dengan pakaian zaman kerajaan — diyakini sebagai arwah Rara Kumbolo dan Jaka Nirmolo. Mereka tak pernah mengganggu, namun menjadi pengingat akan kesetiaan dan ketulusan yang tak lekang waktu.
Satu hal yang membuat Ranu Kumbolo begitu memesona adalah cahaya emas matahari pagi yang menyapu permukaan air, menciptakan siluet gunung di kejauhan. Penduduk sekitar menyebut fenomena itu sebagai “Cahyo Kahyangan”, dipercaya sebagai berkat para dewa yang masih menjaga harmoni Semeru.
Beberapa peneliti memang menjelaskan fenomena ini secara ilmiah — hasil pantulan kabut dan sinar matahari di udara tipis pegunungan — namun bagi masyarakat adat, itu adalah pertanda alam masih hidup dalam keseimbangan.
Bagi warga Lumajang dan Malang, Ranu Kumbolo adalah simbol keseimbangan antara manusia dan alam. Mereka percaya siapa pun yang datang ke sana harus membawa niat baik, menghormati alam, dan meninggalkan jejak positif.
“Kalau datang hanya untuk foto, lalu buang sampah sembarangan, itu artinya tak menghargai doa para leluhur yang menjaga tempat ini,” ujar Mbah Sentono, juru kunci Ranu Pane yang sudah puluhan tahun menjaga jalur pendakian.
Ranu Kumbolo kini menjadi ikon wisata alam dan spiritual. Setiap tahun, masyarakat adat sekitar melakukan ritual sesajen dan doa bersama di tepian danau — bukan untuk memuja, melainkan bentuk rasa syukur pada alam yang memberi kehidupan.
Bagi mereka, legenda bukan sekadar cerita masa lalu, tapi cara untuk mengingatkan manusia agar tak sombong terhadap alam.
Ranu Kumbolo bukan hanya danau di atas gunung, melainkan cermin kehidupan: tenang di permukaan, namun menyimpan kedalaman makna di dalamnya.
Siapa pun yang datang dengan hati bersih, katanya, akan pulang dengan ketenangan dan harapan baru.
Reina
