
I Time.id – Salatiga 10 November 2025 .
Di tengah derasnya arus modernisasi dan teknologi yang membuat manusia kian sibuk mengejar dunia, kisah para Walisongo tetap bertahan, seolah waktu tak mampu menghapus jejak suci perjuangan mereka. Nama-nama seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Bonang, hingga Sunan Gunung Jati, bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan simbol kearifan yang terus menuntun nurani bangsa.
Berbeda dengan legenda masa lalu yang kerap dianggap mitos, kisah Walisongo hidup melalui jejak nilai dan laku. Di desa-desa, pesantren, hingga ruang-ruang maya, ajaran mereka kembali bergema. Bukan lagi sekadar kisah dakwah, tapi warisan etika hidup — bagaimana menjadi manusia yang membumikan kebaikan dalam keseharian.
“Walisongo bukan hanya penyebar Islam, tapi penyulam budaya. Mereka mengajarkan bahwa iman bisa tumbuh tanpa harus menyingkirkan akar tradisi,” ujar K.H. Ahmad Munir, pengasuh pesantren di Demak, yang meneliti manuskrip peninggalan Sunan Kalijaga.
Dari gamelan hingga wayang, dari tembang Jawa hingga arsitektur masjid beratap tumpang tiga — semua menjadi saksi bahwa Islam di Nusantara tumbuh lewat rasa, bukan kuasa. Walisongo menanamkan nilai dengan seni, mendidik lewat contoh, dan menumbuhkan harmoni di tengah perbedaan.
Kini, di era serba digital, semangat itu justru menemukan bentuk baru. Di platform media sosial, ribuan konten kreator muda menghidupkan kembali kisah Walisongo dalam format video pendek, animasi, hingga musik religi modern.
“Anak muda mulai sadar, bahwa spiritualitas itu keren,” kata Nabila Zahra, kreator konten asal Yogyakarta, yang membuat serial “Wali Zaman Now”.
Meski zaman telah berubah, ajaran Walisongo tetap bernafas di hati masyarakat. Mereka mengajarkan bahwa nilai kebaikan tak lapuk dimakan waktu — selama masih ada manusia yang mau meneladani.
“Mereka tidak hanya menaklukkan tanah Jawa, tapi menaklukkan hati,” tulis seorang sejarawan dalam arsip lama yang kini kembali dibaca dengan makna baru.
Kisah Walisongo bukan nostalgia masa lalu, tapi cermin yang menuntun masa depan. Di tengah hiruk pikuk zaman digital, keteladanan mereka menjadi pelita — menuntun kita untuk tetap manusiawi.
Reina
