I Time. Subulussalam, 15 Desember 2023 – Di tengah tuntutan reformasi birokrasi yang semakin kuat, praktik rangkap jabatan di kalangan aparatur sipil negara (ASN) di Pemerintah Kota (Pemko) Subulussalam menimbulkan sorotan tajam. Sebuah kasus mencolok melibatkan seorang ASN bernama Rajab, yang secara simultan memegang tiga posisi strategis: Pelaksana Harian (Plh) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang), serta Sekretaris di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM). Fenomena ini tidak hanya bertentangan dengan semangat undang-undang nasional, tetapi juga memicu pertanyaan mendasar tentang integritas tata kelola pemerintahan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 88 ayat (1) dan (2) secara eksplisit menegaskan bahwa seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau ASN yang diangkat ke jabatan baru wajib diberhentikan sementara dari posisi sebelumnya. Ketentuan ini bertujuan mencegah rangkap jabatan yang dapat mengganggu efisiensi dan akuntabilitas. Penguatan regulasi ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005, yang merupakan pembaruan dari Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997. Dokumen tersebut menyatakan bahwa rangkap jabatan hanya diperbolehkan dalam kondisi mendesak, bersifat sementara, dan harus didukung izin tertulis dari pejabat berwenang. Di tingkat daerah, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2018 semakin memperketat aturan dengan membatasi ASN hanya pada satu jabatan struktural, guna menjaga fokus kinerja dan mencegah konflik kepentingan.
Namun, realitas di Pemko Subulussalam tampaknya berlawanan arah. Rajab, yang ditunjuk sebagai Plh Kepala Bappeda sejak awal 2023, seharusnya hanya menjalankan tugas sementara untuk mengisi kekosongan hingga pejabat definitif ditetapkan. Alih-alih bersifat transisional, posisi ini bertahan hingga akhir tahun, seolah-olah menjadi jabatan permanen. Sementara itu, ia tetap mempertahankan peran sebagai Kepala Bidang Litbang di bawah naungan Bappeda dan Sekretaris BKPSDM—dua jabatan yang secara administratif memerlukan dedikasi penuh waktu. “Ini bukan lagi soal mengisi kekosongan, tapi seperti mengakarnya satu figur di tiga kursi kekuasaan,” ujar seorang sumber internal di lingkungan Pemko yang enggan disebut namanya, menggambarkan bagaimana isu ini awalnya hanya menjadi bisik-bisik di kalangan ASN sebelum menyebar lebih luas.
Lebih lanjut, kasus ini bukanlah yang pertama. Seorang guru ASN di daerah tersebut dilaporkan juga diangkat sebagai Pejabat Kepala Desa, meskipun regulasi ASN menuntut pemisahan jelas antara tugas pendidikan dan administratif eksekutif. Penelusuran lebih dalam kemungkinan akan mengungkap kasus serupa, mencerminkan pola yang sistematis di birokrasi lokal. Saat dikonfirmasi, Kepala BKPSDM Kota Subulussalam memilih untuk tidak memberikan komentar, dengan alasan bahwa pengangkatan jabatan berada di bawah kewenangan pimpinan tertinggi dan melibatkan pertimbangan strategis.
Dari perspektif akademis, praktik semacam ini tidak hanya melanggar kerangka hukum, tetapi juga merusak prinsip-prinsip good governance. Analisis terhadap tata kelola pemerintahan menunjukkan bahwa rangkap jabatan dapat menimbulkan konflik kepentingan, penurunan kualitas layanan publik, dan potensi korupsi. Seorang pakar administrasi publik dari universitas terkemuka di Aceh, yang meminta identitasnya dirahasiakan, menjelaskan bahwa “rangkap jabatan sering kali menjadi siasat untuk mempertahankan pengaruh di posisi strategis, menghindari redistribusi kekuasaan ke pihak lain.” Hal ini sejalan dengan dugaan bahwa di balik pengangkatan Rajab, terdapat motif menjaga kendali atas bidang perencanaan, pengembangan SDM, dan penelitian—ketiganya merupakan pilar utama dalam pembangunan daerah.
Implikasi jangka panjang dari fenomena ini patut menjadi perhatian. Tanpa penegakan regulasi yang tegas, kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi bisa terkikis, terutama di wilayah seperti Subulussalam yang sedang berupaya memperkuat otonomi daerah. Pihak berwenang di tingkat provinsi maupun nasional diharapkan melakukan audit mendalam untuk memastikan kesesuaian dengan undang-undang. Sementara itu, bagi ASN seperti Rajab, situasi ini bisa menjadi pelajaran bahwa efisiensi birokrasi bergantung pada pemisahan tugas yang jelas, bukan pada akumulasi kekuasaan.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa reformasi birokrasi bukan sekadar slogan, melainkan komitmen nyata terhadap aturan main yang adil. Hingga kini, Pemko Subulussalam belum memberikan klarifikasi resmi, meninggalkan ruang bagi spekulasi yang semakin membesar di kalangan publik.
Pewarta : Jaulim Saran

