I Time. Jakarta, 31 Oktober 2025 – Di tengah upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pengembangan energi nuklir muncul sebagai opsi strategis bagi negara-negara Asia Tenggara. Hal ini menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia, meskipun tidak mendominasi agenda utama. Sekretaris Jenderal ASEAN, Kao Kim Hourn, mengungkapkan bahwa diskusi ini mencerminkan minat beberapa negara anggota untuk mendiversifikasi sumber energi mereka sebagai bagian dari transisi menuju energi berkelanjutan.
Dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (30/10/2025), Kao menekankan bahwa pembahasan energi nuklir tidak terlalu mendalam dalam rangkaian pertemuan puncak tersebut. “Memang ada diskusi mengenai energi nuklir, tetapi tidak terlalu banyak pada rangkaian pertemuan puncak ini,” katanya. Namun, ia menambahkan bahwa topik ini mendapat perhatian intensif dalam berbagai percakapan dan pertemuan sampingan yang ia ikuti. “Ini merupakan bagian dari transisi energi bersih dan beberapa negara anggota ASEAN telah mempertimbangkan kemungkinan ini,” ujar Kao, seraya menyoroti potensi nuklir sebagai elemen dalam bauran energi regional.
Kao juga menekankan pentingnya pendekatan hati-hati. “Kami juga sedang meninjau studi yang dilakukan oleh Pusat Energi ASEAN (ACE),” tambahnya, menyarankan bahwa setiap langkah ke depan harus didasari kajian mendalam untuk memastikan keamanan, kelayakan ekonomi, dan dampak lingkungan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip akademis dalam kebijakan energi, di mana integrasi teknologi baru harus mempertimbangkan konteks geopolitik dan ekologis ASEAN, termasuk kerentanan terhadap bencana alam di kawasan ini.
Diskusi ini tidak lepas dari penawaran konkret dari pihak eksternal. Sebelumnya, pada Pertemuan Menteri Energi ASEAN ke-43 (AMEM-43) di Kuala Lumpur, perusahaan energi atom Rusia, Rosatom, menyampaikan proposal pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang disesuaikan dengan kebutuhan regional. Direktur Proyek Rosatom, Alexander Tsibulya, menjelaskan bahwa opsi skala kecil menjadi fokus utama. “Untuk skala kecil tersedia dua pilihan, bisa terapung atau berbasis darat yang disebut reaktor modular kecil (SMR),” katanya.
Tsibulya meyakini teknologi ini sangat sesuai dengan geografi ASEAN, khususnya negara-negara kepulauan. “Bukan hanya di Malaysia, tetapi juga Indonesia sebagai negara kepulauan yang berpeluang besar untuk memiliki tenaga nuklir terapung,” ujarnya, menyoroti wilayah timur Indonesia yang masih bergantung pada generator diesel. Ia menambahkan bahwa Rosatom juga siap menyediakan PLTN skala besar, seperti untuk Semenanjung Malaysia, dengan kapasitas hingga ribuan megawatt.
Dari perspektif akademis, penawaran ini menarik perhatian karena menjanjikan standar keselamatan tinggi. Tsibulya memastikan bahwa teknologi Rosatom memenuhi kriteria “Generasi 3+”, yang telah ditingkatkan pasca-insiden Fukushima di Jepang tahun 2011. “Ini merupakan standar keselamatan yang telah ditingkatkan menyusul insiden reaktor nuklir Fukushima,” tegasnya. Generasi ini mencakup fitur pasif yang mengurangi risiko kegagalan manusiawi dan dampak lingkungan, sebuah aspek krusial dalam studi energi nuklir kontemporer yang menekankan resiliensi terhadap ancaman seismik dan iklim.
Meskipun potensial, integrasi energi nuklir di ASEAN menghadapi tantangan multidimensi. Secara akademis, para ahli energi regional sering kali menyoroti isu regulasi, pengelolaan limbah radioaktif, dan ketergantungan pada pasokan bahan bakar impor, yang bisa memengaruhi kedaulatan energi. Selain itu, konteks geopolitik—seperti ketegangan di Laut China Selatan—menambah lapisan kompleksitas, di mana kerjasama dengan mitra seperti Rusia harus diseimbangkan dengan prinsip netralitas ASEAN.
Ke depan, kajian ACE diharapkan memberikan kerangka analitis yang lebih komprehensif, memadukan data empiris dengan model prediksi untuk menilai viabilitas nuklir dalam mencapai target Net Zero Emission ASEAN pada 2050. Diskusi ini tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang membangun kapasitas manusia dan institusi, sebagaimana direkomendasikan dalam literatur akademis tentang transisi energi di negara berkembang. Dengan demikian, ASEAN berada di persimpangan penting, di mana energi nuklir bisa menjadi katalisator inovasi atau sumber perdebatan baru dalam dinamika regional.
Pewarta : Albertus Parikesit


1 thought on “ASEAN Jelajahi Potensi Energi Nuklir dalam Transisi Menuju Energi Bersih”