I Time. Busan, Korea Selatan 30 Oktober 2025 –Dalam langkah yang menandai de-escalasi signifikan dalam perang dagang berkepanjangan, Kementerian Perdagangan China mengumumkan penangguhan pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth elements) ke Amerika Serikat selama satu tahun penuh. Keputusan ini diikuti langsung setelah pertemuan bilateral antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Pangkalan Udara Gimhae, Busan, yang berlangsung selama hampir dua jam pada Kamis sore waktu setempat. Pengumuman tersebut tidak hanya mengonfirmasi pernyataan awal Trump tentang penyelesaian “isu logam tanah jarang,” tetapi juga membuka peluang baru bagi rantai pasok global yang bergantung pada mineral kritis ini untuk transisi energi berkelanjutan.
Logam tanah jarang, kelompok 17 elemen kimia yang esensial untuk produksi baterai kendaraan listrik, turbin angin, dan magnet permanen dalam peralatan militer, telah menjadi titik gesekan utama sejak awal tahun ini. China, yang menguasai sekitar 80 persen produksi global, memperkenalkan pembatasan ekspor yang lebih ketat pada 9 Oktober lalu, termasuk larangan kolaborasi dengan perusahaan asing tanpa persetujuan pemerintah serta pengawasan ketat terhadap teknologi pemrosesan. Langkah ini memicu kekhawatiran di kalangan produsen AS, yang bergantung pada impor untuk mendukung industri semikonduktor dan otomotif.

“China akan menangguhkan penerapan langkah-langkah pengendalian ekspor yang diumumkan pada 9 Oktober selama satu tahun, sambil mempelajari dan menyempurnakan rencana spesifiknya,” tegas pernyataan resmi Kementerian Perdagangan China. Selain itu, Beijing menyatakan komitmen untuk melakukan “penyesuaian yang sesuai” terhadap kebijakan balasan atas tarif impor AS, termasuk perpanjangan kebijakan pengecualian tarif untuk barang-barang tertentu. Sebagai imbalannya, AS sepakat menangguhkan aturan baru yang diumumkan pada 29 September, yang akan memperluas daftar entitas terlarang untuk mencakup anak perusahaan China yang dimiliki minimal 50 persen oleh entitas terdaftar.
Pertemuan Trump-Xi, yang digambarkan oleh Trump sebagai “pertemuan luar biasa dengan nilai 12 dari skala 1 hingga 10,” juga menghasilkan konsesi timbal balik di bidang lain. AS berencana menurunkan tarif terkait prekursor fentanyl dari 20 persen menjadi 10 persen, sehingga total beban tarif pada barang impor China turun dari 57 persen menjadi 47 persen. China, di sisi lain, berjanji melanjutkan pembelian kedelai AS yang sempat terhenti, serta mempertahankan aliran ekspor logam tanah jarang tanpa hambatan tambahan. Trump, dalam konferensi pers di atas Air Force One sebelum meninggalkan Korea Selatan, menekankan bahwa kesepakatan ini akan dinegosiasikan ulang setiap tahun, dengan rencana kunjungan balasan: dirinya ke China pada April mendatang, diikuti kunjungan Xi ke AS.
Baca juga : Praktik Saling Menjatuhkan Antarwartawan Ancam Integritas Pers Nasional
Latar belakang ketegangan ini mencerminkan dinamika kompetisi strategis yang lebih luas. Pada 9 Oktober, respons China terhadap pembatasan ekspor AS yang lebih awal memicu ancaman balasan dari Trump, termasuk potensi tarif hingga 100 persen pada barang China dan pembatasan ekspor perangkat lunak kritis mulai 1 November. Namun, nada yang melunak dari Washington—didukung oleh kerangka kesepakatan awal yang dirundingkan pejabat kedua negara pada akhir pekan lalu—membuka pintu bagi dialog langsung. Xi, dalam sambutan pembuka pertemuan, menekankan bahwa “gesekan sesekali adalah hal normal” antara mitra dagang terbesar dunia, sambil menyerukan pendekatan “teman dan mitra.”
Dari perspektif akademis, kesepakatan ini menawarkan studi kasus menarik tentang diplomasi ekonomi di era rivalitas geopolitik. Menurut analisis dari para ahli hubungan internasional di Universitas Tsinghua Beijing, penangguhan ini bukan sekadar jeda taktis, melainkan strategi untuk mencegah fragmentasi rantai pasok global yang bisa merugikan kedua belah pihak. “Logam tanah jarang bukan hanya komoditas; ia adalah tulang punggung revolusi hijau. Dengan menunda pembatasan, China menjaga pengaruhnya sebagai pemasok utama sambil memberi AS ruang untuk diversifikasi sumber, yang pada akhirnya bisa mendorong inovasi bersama,” ujar Dr. Li Wei, pakar perdagangan internasional di institusi tersebut.

Di AS, pakar dari Brookings Institution menyoroti implikasi jangka panjang. “Kesepakatan satu tahun ini memberikan napas segar bagi industri domestik, tapi juga menekankan urgensi untuk investasi di penambangan dan pengolahan lokal. Tanpa itu, ketergantungan pada China tetap menjadi kerentanan strategis,” kata Sarah Thompson, peneliti senior kebijakan sumber daya alam. Data dari Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa permintaan global logam tanah jarang diproyeksikan naik 40 persen hingga 2030, didorong oleh ekspansi energi terbarukan—membuat kolaborasi seperti ini krusial untuk menghindari krisis pasok.
Sementara pasar global merespons positif dengan kenaikan saham produsen baterai dan magnet hingga 5 persen di sesi perdagangan pagi ini, skeptisisme tetap ada. Beberapa analis memperingatkan bahwa pembatasan sebelumnya dari April—yang masih berlaku—bisa menjadi dasar untuk eskalasi baru jika negosiasi tahunan gagal. Namun, bagi kedua pemimpin, pertemuan ini menandai kemenangan simbolis: Trump dapat mengklaim keringanan tarif dan aliran barang, sementara Xi memperkuat posisi China sebagai aktor yang bertanggung jawab dalam tata kelola sumber daya global.
Dengan kesepakatan ini, harapan untuk forum APEC mendatang di Gyeongju semakin tinggi, di mana topik seperti semikonduktor dan bioteknologi kemungkinan akan menjadi agenda lanjutan. Bagi dunia yang bergantung pada inovasi berkelanjutan, penangguhan ini bukan akhir dari ketegangan, melainkan babak baru dalam diplomasi yang berfokus pada interoperabilitas ekonomi.
Pewarta : Setiawan Wibisono


1 thought on “Kesepakatan Dagang AS-China: Penangguhan Pembatasan Logam Tanah Jarang Buka Jalan bagi Kolaborasi Teknologi Hijau”