I Time. Jakarta – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengubah lanskap kampanye politik secara signifikan. Salah satu fenomena yang kian mencuat adalah penggunaan teknologi deepfake, yang mampu meniru perilaku, wajah, hingga suara seseorang dengan tingkat kemiripan luar biasa. Teknologi ini kini mulai dimanfaatkan dalam kampanye politik, membawa potensi ancaman serius terhadap integritas demokrasi. Menjelang Pemilu 2029, urgensi edukasi politik dan kedewasaan masyarakat dalam menyikapi teknologi ini menjadi semakin mendesak.
Deepfake, dengan kemampuannya menciptakan konten manipulatif yang sulit dibedakan dari aslinya, telah memicu kekhawatiran di berbagai kalangan. Mahkamah Konstitusi (MK) merespons fenomena ini dengan menerbitkan regulasi yang melarang penggunaan AI untuk tujuan manipulatif dalam pemilu. Langkah ini diambil untuk memastikan AI digunakan secara positif, seperti menyampaikan informasi publik secara kreatif dan menarik. Namun, tantangan tetap ada, terutama karena lemahnya implementasi keterbukaan informasi publik oleh lembaga negara, yang sering kali gagal menjamin kebenaran konten yang beredar.
Usep Hasan Sadikin, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menegaskan bahwa pelarangan total terhadap AI dalam kampanye politik bukanlah solusi ideal. Menurutnya, AI seharusnya dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penyampaian informasi kepada pemilih dengan cara yang inovatif. “Jika terjadi deepfake atau manipulasi oleh peserta pemilu, kita bisa mengeceknya dengan mudah,” ujar Usep dalam wawancara dengan Pro 3 RRI pada Rabu, 29 Oktober 2025. Ia menambahkan bahwa pembatasan berlebihan justru berisiko menghambat kreativitas kampanye dan melanggar hak atas kebebasan berekspresi.
Sementara itu, pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, memperingatkan bahwa teknologi deepfake semakin sulit dideteksi oleh panca indera manusia. “AI kini mampu menggabungkan suara, mimik wajah, gestur, hingga kepribadian individu secara nyaris sempurna,” jelasnya. Menurut proyeksi linier, pada 2029, teknologi ini diperkirakan akan semakin canggih, memperluas potensinya dalam dunia pemasaran dan komunikasi publik, tetapi juga meningkatkan risiko penyalahgunaan. Firman menyoroti bahwa regulasi hukum terkait penggunaan AI masih belum memadai, membuka celah bagi tindakan penipuan yang dapat merugikan masyarakat.
Di tengah ancaman ini, pendidikan politik menjadi kunci untuk membekali masyarakat dengan kemampuan kritis dalam menyaring informasi. Kedewasaan politik diperlukan agar publik tidak mudah termanipulasi oleh konten deepfake yang menyesatkan. Masyarakat perlu memahami ciri-ciri konten manipulatif dan melatih literasi digital untuk mengenali keaslian informasi. Tanpa kesadaran kolektif, teknologi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan justru dapat melemahkan demokrasi.
Pemerintah dan lembaga terkait juga dituntut untuk memperkuat sistem verifikasi informasi dan memastikan keterbukaan data publik yang dapat dipercaya. Langkah ini tidak hanya akan meminimalkan dampak negatif deepfake, tetapi juga memungkinkan AI digunakan untuk memperkaya wacana politik secara konstruktif. Menuju Pemilu 2029, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi krusial untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat di era digital.
Dengan pendekatan yang seimbang antara inovasi teknologi dan penguatan literasi politik, Indonesia dapat menghadapi tantangan deepfake tanpa mengorbankan kreativitas dan kebebasan berekspresi. Publik yang cerdas dan kritis adalah benteng terakhir dalam menjaga integritas demokrasi di tengah derasnya arus teknologi.
Pewarta : Fuji

